Terima Kasih Telah Menyadarkanku!

Nyatanya sekarang aku telah mengerti bahwa kamu bukanlah lagi seseorang yang pantas untukku indahkan. Menyayangimu saat itu adalah suatu kekhilafan yang kubawa pulang dari perinjakkan itu. Kau adalah seorang yang baru kukenal ditempat itu, bahkan disini dirimu masih berada dalam angan dan bayanganku. Aku tersadar sekarang  bahwa bayangan itu memanglah nyata, ia bukan makhluk yang pantas tuk kucinta. Ia adalah seorang yang kuanggap keluarga dan berharap memiliki perinjakkan yang sama kembali bila Tuhan penciptaku mengizinkannya lagi.
Sebuah bukti nyata yang kulihat baru-baru ini mampu membuat hati ini bersedih. Tak usah kau tanya mengapa aku bisa bersedih, bahkan sampai bisa menghilangkan mood yang aku bangun sebagus mungkin, aku pun tak tahu mengapa itu bisa terjadi. Jiwa itu, raga itu, mengingatkan aku bahwa ia bukanlah orang yang sebenarnya aku tuju. Aku hanya terbawa perasaan hingga aku lupa bahwa yang seharusnya kulihat ialah kebahagiaan. Mengingatmu ialah petaku bagiku. Berharap setinggi mungkin apa yang tak patut diharapkan hanya dapat menimbulkan asa yang berlebih yang mungkin bisa membuat hati ini mati.
Aku selalu memaksa hati ini agar dapat bersabar sedikit saja, agar ia dapat mengerti bahwa raga ini tidak cukup siap untuk membangun kebahagiaan yang diimpikan oleh sang hati. Jalanku sangat sulit, sungguh, butuh perjuangan yang panjang, sangat panjang. Hidupku bukan hanya diliputi oleh rasa yang biasa disebut cinta ini, aku juga memiliki tanggungjawab yang harus menekankan aku pada hidup yang kelam ini. Sedikit saja aku salah, maka hancurlah aku. Bukankah itu nilai 0 bagimu?
Nyatanya sangat sulit aku menyimpulkan apa yang sedang dirasa si hati, jangankan kau, mungkin tak ada yang peduli lagi bagaimana hati ini bisa bertahan sampai sepedih ini.  Sekarang atau esok ya sama saja, bagaimana aku bisa menjalankannya. Tapi aku percaya bahwa raga ini masih cukup kuat untuk menahan bopong sang hina hingga ia mampu menutupi perihnya sebuah hati yang tergores oleh luka. Bagaimana tidak, pekatnya si pahitpun aku sanggup, karena yang terlintas dimasa depan adalah pekatnya kebahagiaan.
Kebahagiaan? Aku selalu membayangkannya. Di lingkup yang masih disebut ‘student’ ini, aku pernah bermimpi. Seperti yang aku ceritakan sebelumya, dia tampan, sukses seperti aku nanti, memiliki seorang anak yang lucu yang benar-benar diharapkan. Aku sampai lupa belajar bagaimana memasak untuknya. Karir menuntutku agar aku waspada terhadap laki-laki. Kita tidak tahu takdir apa yang akan kita jalankan nanti. Aku membayangkannya. Ya, aku membayangkannya. Dia yang kusebut ‘anak’, kami keluarga bahagia, selalu tertawa. Bila masih kecil aku ingin menggendongnya sambil melantunkan shalawat, mengucapkan Ayat-Ayat Allah agar yang batil tak mampu menggodanya. Tiap subuh aku terbangun, membangunkan ia yang kusebut suamiku, solat berjamaah bersama, aku ingin ia mendengarku mengaji, aku berharap ia memuji atas keindahan suara yang keluarkan dalam melantukan ayat-Nya. Pagi itu, karir kita dimulai. Dhuha selalu kita ingat, bersimpuh dihadapan-Nya walau tak sedang bersama tetapi saling mendoakan. Bertemu sore hari, maghrib bersama kembali dan lagi-lagi dia mendengarkan keindahan dariku lagi. Ah, tahajud. Indahnya bisa bertahajud bersamamu. Kamu yang membangunkan aku nanti disaat heningnya malam, aku tak mau terbangun kala nanti, kau terus membujukku hingga kita beranjak pada jalan menuju surga-Nya. Merapikan pakaianmu, memberinya wewangian yang membuat kamu selalu mengingatku. Oh indahnya bayangan itu. Tapi aku lupa membayangkan apalagi mempraktikkan masalah makanmu nanti. Dari kecil orangtuaku tak pernah mengajariku, bahkan aku tak menyukai hal itu. Apa kamu masih mau menemaniku? Oh Tuhan pandaikan aku dalam memasak.

Panjang sekali aku berkata, lagi-lagi aku hanya bisa berkata. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Sakit! Aku Rindu