latepost nov,10th
Kamu tahu betapa indahnya menatap
rembulan selepas mentari tenggelam. Indah sekali sungguh. Namun aku takut
berujung pada kekecewaan yang biasa terjadi itu. Aku sering bertanya kepada
Tuhan kenapa aku terlahir tak begitu sempurna padahal tujuanku hanya untuk
membahagiakan mereka? Aku bahagia dengan ini. Bahkan tawa ini sering terpancing
saat aku tengah mengingatnya. Dia hadir dan masuk kedalam mimpiku malam tadi.
Aku heran makna apa yang tengah Dia berikan sampai seorang itu bisa masuk
kedalam mimpi ini. Di tengah mimpi itu,
aku terlihat bahagia sekali layaknya seorang yang baru menemukan sosok
kekasih. Ada yang sempat berkata bahwa berhati-hatilah. Aku bingung ditengah
bahagia ini masih saja ada yang namanya sosok waspada. Bukannya hidup haruslah
berjalan meski yang datang itu hal menyakitkan. Sebenarnya aku juga takut, dan
akupun merasa malas menjalani sesuatu bersama orang yang mungkin salah, bersama
ia yang mungkin bukan jodohku. Tapi sampai kapan aku harus berpikiran begini
sementara kerutan wajah menyergap seolah tak suka akan hal itu. Terkadang
sebuah hati merindukan seorang yang mau menyentuh hatinya. Tapi mengapa logika
selalu mempertahankannya. Sebuah kriteriapun menjadi sorotannya. Hati selalu
menolak, ia sadar bahwa kriteria belum tentu pembawa kebahagiaan. Tapi cinta
yang tulus bahkan bisa menggebraknya. Akankah seorang ini mampu membuat aku
tersenyum dipangkuannya sampai waktu yang diharapkan itu? Atau mungkin ia akan
menghilang dan meninggalkanku saat hati tengah menggarap harapan untuk terus
bersamanya? Aku tak mau menyebutnya ini cinta. Terlalu cepat sungguh. Aku
menyebut ini sebuah kekaguman. Layaknya mengagumi sebuah bintang yang selalu menyinari malamya,
layaknya ia yang selalu menemani hari-hariku kala ini. Aku suka tersenyum
sendiri bahkan disaat masalah mengancamnya seolah tak peduli pada semua masalah
yang ada bahkan dianggap begitu mudah olehnya.
Sebenarnya aku malas memulai ini
semua. Tapi bukannya ini harapan yang tlah kau rangkai jauh-jauh hari? Apa
salahnya mencoba, bukannya patahan itu sudah menjadi bagian hidupmu beberapa
tahun lalu. Sungguh aku ragu. Aku takut ia menolehku karena karya yang tengah
bergema itu. Aku takut akan keraguannya nanti setelah mengetahui banyak
kekuranganku. Mungkin tak banyak kelebihan yang bisa kutunjukkan. Menunjukkan
kelebihan dan menutup kekuranganku padamu merupakan petaka bagiku. Aku senang
dengan ini. Aku senang dengan kita. Dirimu seakan menumpahkan sejuta harapan
yang tlah lama kurangkai itu, sementara aku takut menjalankannya. Aku ragu pada
kebahagiaan selepas adanya kekecewaan itu. Aku bosan mengalaminya. Dapatkah ia
menjadi sosok yang kuharapkan?
Comments
Post a Comment